(Police Report No. Pol: LP / 81 / III / 2006 / Dit Reskrim, dated March 14, 2006 with Pol: SP.Sidik / 90 / III / 2006, dated March 16, 2006)

The Initial Report:

Because the November 2005 report was not for suspected Fraud as Michael was told by Rifan of Austrindo Law Office, but for suspected Embezzlement, in March 2006 Michael again reported Made Jati for suspected Fraud at Polda Bali.

Michael’s new attorneys Maharidzal SH and Mangasi Simangunsong SH made a great effort to find an unbiased investigator. Eventually Michael reported the case to Hagnyono SH of Reskrim Polda Bali.

Hagnyono called twenty one witnesses for examination, including Michael’s witnesses Ni Made Artini and I Nyoman Sudana who had previously been excluded by Wayan Karta and whose testimony had been falsified in the decision of the National Court. Hagnyono also interviewed other witnesses present at the 1994 Bali marriage ceremony in Sanur, including the pendanda Ibu Pedanda Ayu Mas Eni who had helped conduct the ceremony. All the witnesses agreed that the ceremony had occurred in Sanur in 1994, not in Kuta in 1996.

Hagnyono then interviewed officials from Tabanan who had issued a Report of Hindu Marriage in 1996 stating that a ceremony had taken place in Tabanan in July 1996 (this is still another location for the imaginary ceremony). Made Jati had used this Report of Hindu Marriage in September 1996 to obtain the false marriage certificate in Denpasar. All the officials agreed that no such ceremony had taken place and that the Report of Hindu Marriage was false.

Hagnyono then interviewed Nyoman Suti (Made Jati's sister), Heru Widiyanto, I Nyoman Ada (Made Jati’s father) and the other witnesses who had explained to Wayan Karta that a ceremony had taken place in 1996. They now admitted to Hagnyono that they had lied, and the ceremony had actually taken place in 1994 in Sanur.

Hagnyono then called Made Jati as a suspect in a fraud. When confronted with the evidence, Made Jati admitted that the true ceremony had taken place in Sanur in 1994 and that the 1996 evidence was a fabrication.

But on 12 May 2006 the investigation hit a roadblock. Made Jati and her attorney Ida Bagus Wikantara paid a personal visit to the Director of the Criminal Investigations Division (DirResKrim), and after a one hour private meeting with him, the DirResKrim called Hagnyono to his office and asked him why he was continuing the investigation of Made Jati. Hagnoyono later told Michael, Maharidzal and Simangunsong that the DirResKrim ordered him to issue a suspending SP2HP letter. The DirResKrim was scheduled to transfer to a new post outside of Bali on the following Monday, however, so Hagnyono delayed writing up the SP2HP. The letter was finally issued only on 16 May 2006, one day after the DirReskrim was officially no longer in authority at Polda Bali. Nevertheless, the intervention was clear and Michael, Maharidzal and Simangunsong entered a letter of protest directly to the Chief of Police (Kapolda) complaining about collusion.

The investigation finally continued under orders from the Kapolda after some delay. Documents in evidence included

In September 2006 the complete police file was sent to the Public Prosecutor’s Office (Kejaskaan) with recommendation that Made Jati be indicted and tried with an accusation of criminal fraud.

Later Developments:

According to law, after the police submit a case for trial, the Kejaksaan must either accept the indictment, or if the case is insufficient, the Kejaksaan may return the file within 14 days to the police with what is known as a P-19 letter containing questions necessary for further evidence.

The Kejaksaan repeatedly returned the file to Polda 12 times for over a year. There is no requirement by law that the P-19 questions need to be new or previously unanswered questions or even that they make sense. Indeed in one meeting between investigators and the Kejakasaan, the assistant prosecutor, Suhadi, admitted that he had written the latest questions on orders from his superiors but he couldn’t explain their meaning because they appeared to be nonsensical.

In later meetings Suhadi and other prosecutors told Michael, Maharidzal, Simangunsong and others that the case file was actually complete and ready for trial, but that their superiors in the department had an interest in stopping the case.

In November 2006 the National Court Denpasar issued a judgment declaring Made Jati’s 1996 marriage documents invalid and acquired “In a Manner Contrary to Law.” The prosecutor, Olopan Nainggolan, immediately gave interviews to four area newspapers stating that he “laughed at the decision of the judges.” Privately he told Michael’s attorneys that a case brought by a foreigner against an Indonesian wife would never advance as long as he was prosecutor, and that if a foreigner is tricked by an Indonesia wife, “that’s the risk he takes for coming to Indonesia.”

In a meeting with the Assistant Chief Prosecutor (Wakajati) on 23 February 2007, the Wakajati told Michael’s attorneys in Michael’s presence (apparently unaware that Michael spoke Indonesian) that they were on his list as troublemakers. He was angry because their duty as Indonesian attorneys was to do what the Prosecutor’s Office wanted, not help foreigners who would soon leave the country anyway.

In the 11th P-19 rejection, the Kejaksaan demanded that Polda Bali investigators question Michael as a suspect for signing the false documents in Indonesian presented to him by Made Jati – in effect accusing Michael of defrauding himself – while still refusing to accept Made Jati herself as a suspect. The message and threat seemed clear: Michael could be indicted and convicted of criminal charges, even baseless ones, if he persisted.

Michael fled Indonesia in August 2007 after the death threat, and two months later Polda Bali stopped the case with an explanation "no evidence of a loss." In fact the relevant section of the criminal code (Pasal 266 KUHP) specifies that the crime of False Documentation requires 1) the acquisition of a false document, and then 2) the use of that document in a manner that causes or could potentially cause material or non-material loss to another person. Polda Bali has never explained how "no evidence of a loss" applies to the closing of this case.

At the home she had once shared with Michael and their children, Made Jati threw a tremendous party attended by the Made's Angels to celebrate her victory.

( Laporan Polisi No Pol: LP / 81 / III / 2006 / Dit Reskrim, tanggal 14 Maret 2006 dengan Pol: SP.Sidik / 90 / III / 2006, tanggal 16 Maret 2006)

Laporan Awal:

Karena laporan November 2005 bukan untuk Penipuan seperti Michael diberitahu oleh Rifan dari Austrindo Law Office, tapi untuk Penggelapan, di Maret 2006 Michael lagi melaporkan Made Jati karena Penipuan di Polda Bali.

Pengacara baru Michael yang namanya Maharidzal SH dan Mangasi Simangunsong SH berusaha keras untuk menemukan penyidik tidak bias. Akhirnya Michael melaporkan kasus kepada Hagnyono SH di Reskrim Polda Bali.

Hagnyono panggil 21 saksi untuk diperiksa, termasuk saksi Michael namanya Ni Made Artini dan I Nyoman Sudana yang sebelumnya diabaikan oleh Wayan Karta dan penjelasan mereka yang telah dipalsukan dan dibalikan dalam keputusan Pengadilan Nasional. Hagnyono juga mewawancarai saksi-saksi lain yang hadir pada upacara perkawinan Bali tahun 1994 di Sanur Bali, termasuk pedanda Pedanda Ibu Ayu Mas Eni yang telah membantu mumput upacara Bali tahun 1994. Semua saksi setuju bahwa upacara itu dilangsungkan di Sanur pada tahun 1994, bukan di Kuta pada tahun 1996.

Hagnyono kemudian mewawancarai pejabat dari Tabanan yang telah mengeluarkan Laporan Perkawinan Hindu tahun 1996 yang menyatakan upacara Bali dilangsungkan di Tabanan pada bulan Juli 1996 (ini lokasi lain lagi untuk upacara fiktif itu). Made Jati telah menggunakan Laporan Perkawinan Hindu pada bulan September 1996 untuk mendapatkan surat perkawinan palsu di Denpasar. Semua pejabat Tabanan setuju tidak pernah ada upacara semacam itu dan setuju Laporan Perkawinan Hindu itu palsu.

Hagnyono kemudian mewawancarai Nyoman Suti (saudara Made Jati), Heru Widiyanto, I Nyoman Ada (ayah Made Jati) dan para saksi lain yang sudah menjelaskan pada Wayan Karta bahwa upacara telah terjadi pada tahun 1996. Mereka sekarang mengaku pada Hagnyono bahwa mereka membohong, dan upacara itu benar-benar terjadi pada tahun 1994 di Sanur.

Kemudian Made Jati dipanggil sebagai tersangka dalam penipuan. Ketika dihadapi dengan bukti, Made Jati mengakui bahwa upacara benar dilangsungkan di Sanur pada tahun 1994, dan upacara tahun 1996 di Kuta adalah bohongan.

Tetapi pada tanggal 12 Mei 2006 kemajuan penyelidikan kena hambatan. Made Jati dan pengacaranya Ida Bagus Wikantara mengunjungi secara pribadi kepada Direktur Divisi Investigasi Kriminal (DirResKrim), dan setelah pertemuan pribadi satu jam, Direskrim panggil Hagnyono pada kantornya kantornya dan bertanya mengapa Hagnyono melanjutkan penyelidikan pada Made Jati. Hagnoyono kemudian mengatakan kepada Michael, Maharidzal dan Simangunsong bahwa DirResKrim memerintahkannya untuk mengeluarkan surat penangguhkan SP2HP. Tetapi DirResKrim dijadwalkan dipindah ke posisi baru di luar Bali pada Senin berikutnya, jadi Hagnyono menunda penulisan SP2HP. Surat itu akhirnya dikeluarkan pada tanggal 16 Mei 2006, satu hari setelah DirReskrim tidak lagi otoritas di Polda Bali. Namun demikian, intervensi itu jelas dan Michael, Maharidzal dan Simangunsong menagjukan surat protes langsung kepada Kepala Kepolisian (Kapolda) mengeluh tentang intervensi.

Penyelidikan akhirnya dilanjutkan atas perintah Kapolda. Dokumen dalam bukti termasuk

Pada bulan September 2006 berkas polisi lengkap telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi dengan rekomendasi Made Jati didakwa pidana penipuan.

Kembangan:

Menurut hukum, setelah polisi melimpahkan berkas, Kejaksaan harus menerima dakwaan, atau jika kasus tersebut tidak mencukupi, maka Kejaksaan dapat kembalikan berkas tersebut dalam waktu tempo 14 hari kepada polisi dengan surat yang dikenal sebagai P-19 dengan pertanyaan yang mau disempurnakan.

Kejaksaan berulang kali membalikan berkas tersebut ke Polda Bali sebanyak 12 kali selama lebih dari satu tahun. Tidak ada persyaratan menurut hukum apakah pertanyaan P19 harus pertanyaan baru ataupun apakah pertanyaan harus masuk akal. Memang dalam satu rapat antara penyidik Polda Bali dan Kejakasaan, jaksa Suhadi mengakui bahwa ia sendiri menulis pertanyaan-pertanyaan terbaru atas perintah dari atasannya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan artinya karena kalimat yang tampaknya tidak masuk akal dari atasannya saja.

Kemudaian di rapat Suhadi dan jaksa lainnya memberitahu Michael, Maharidzal, Simangunsong dan saksi-saksi lain bahwa yang benar berkas sudah lengkap dan siap sidang, tapi yang atasan mereka di departemen memiliki kepentingan dalam menghentikan kasus ini.

Pada bulan November 2006, Pengadilan Negeri Denpasar mengeluarkan putusan menyatakan dokumen perkawinan yang didapatkan Made Jati tahun 1996 tidak sah, dan didapatkan "Perbuatan Melawan Hukum." Jaksa Olopan Nainggolan segera memberikan wawancara kepada empat koran daerah dimana dia menyatakan bahwa ia "menertawakan keputusan hakim." Secara pribadi dia mengatakan pada pengacara Michael bahwa sebuah kasus dibawa oleh seorang asing terhadap seorang istri Indonesia tidak akan maju selama dia jaksa, dan bahwa jika orang asing yang ditipu oleh istri Indonesia,"itu resiko sendiri karena datang di Indonesia. "

Dalam rapat dengan Wakajati pada 23 Februari 2007, Wakajati mengatakan kepada pengacara Michael di hadapan Michael (tampaknya tidak menyadari bahwa Michael berbicara Indonesia) bahwa dia punya buku dimana dia mendaftarkan nama pengacara-pengacara tidak disukai karena tidak bekerja sama seperti diharapkan. Katanya pengacara Indonesia berwajibkan membantu dalam kemauan Kejaksaan, jangan membantu orang asing, karena kareer pengacara tergantung pada ingat siapa temannya di kantor Kejaksaan, tetapi klien asing akan segera meninggalkan negara Indonesia.

Dalam penolakan P-19 nomor 11, Kejaksaan menuntut agar penyidik Polda Bali memeriksa Michael sebagai tersangka karena menandatangani dokumen-dokumen palsu di Indonesia yang disajikan kepadanya oleh Made Jati - yaitu menuduh Michael menipu dirinya sendiri - sementara masih menolak menerima Made Jati sebagai tersangka. Pesan dan ancaman tampak jelas: Michael bisa dituntut dan divonis didakwa kriminal, bahkan dakwaan yang tak berdasar, jika ia bertahan berjuang kasus penipuan Made Jati.

Michael melarikan diri Indonesia pada bulan Agustus 2007 setelah ancaman penbunuhan, dan dua bulan kemudian Polda Bali hentikan kasus ini dengan penjelasan "tidak ada bukti kerugian." Bahkan bagian yang relevan dari hukum pidana (Pasal 266 KUHP) menetapkan bahwa kejahatan Palsu Dokumentasi membutuhkan 1) akuisisi dokumen palsu, dan kemudian 2) penggunaan dokumen tersebut dengan cara yang menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian material atau non-materi kepada seorang. Polda Bali tidak pernah menjelaskan bagaimana "tidak ada bukti kerugian" berlaku untuk penutupan kasus ini.

Di rumah yang dulu rumah keluarga Michael dan Made Jati dan anak-anak, Made Jati selenggarakan pesta besar dihadiri Made's Angels untuk merayakan kemenangannya.